Kamis, 21 April 2011

Contoh Kasus Pelolaan Asuransi dan Dana Pensiun

Nilai Rp. 1,066,701,806 adalah mutlak dan harus terlindungi.

contoh kasus pengelolaan bank konvensional

Contoh kasus :
Bank konvensional memberikan pinjaman pembelian rumah sebesar Rp 200,000,000.00 kepada si peminjam dan memberikan kesempatan kepada si peminjam untuk mencicil selama 30 tahun. Berapakah yang si peminjam harus bayar setelah 30 tahun?
Pada contoh kasus ke 2, mungkin ada yang bertanya berapa kadar bunga pertahun. Anggap saja bank konvensional memberikan kadar bunganya sebesar 2% per tahun. Dengan diketahui kadar bunga ini, si peminjam bisa menghitung harga rumah yang perlu dibayar setelah 30 tahun yaitu sebesar Rp 200,000,000.00 + Rp 120,000,000.00 = Rp 320,000,000.00. Wow lebih murah dari Bank Islam. Berarti betul Bank Islam itu terlalu mahal.
Tunggu dulu. Perhitungan di atas tidak tepat. Kenapa?
Karena kadar bunga yang harus di bayar setiap tahun tergantung kepada BLR (Base Lending Rate) yang tidak tetap. Kalau tahun ini kadar bunga sebesar 2%, apakah sudah pasti kadar bunga tahun depan juga 2%? Tidak ada yang bisa menjamin, karena itu tergantung dengan BLR yang sering berubah-rubah. Pertanyaannya bisakah BLR dibuat stabil dalam rentang waktu yang lama hingga puluhan tahun? Kalau anda membaca diagram di bawah ini, maka anda akan segera menyadari bahwa BLR adalah sesuatu yang tidak stabil. Berikut ini adalah diagram BLR untuk sebuah negara di Asia Tenggara dari tahun 1991 – 2006.

Coba diperhatikan bahwa kadar BLR dari tahun 1995-1998 melambung di atas 8%. Ini berarti selama 3 tahun anda harus membayar bunga yang sangat tinggi. Mungkin tidak menjadi masalah kalau anda adalah orang berada, tapi lain ceritanya kalau gaji anda pas-pasan. Dalam keadaan krisis ekonomi tersebut kemungkinan besar gaji anda tidak naik selama beberapa tahun, sedangkan biaya hidup semakin meningkat. Belum lagi cicilan rumah yang tiba-tiba meningkat setiap bulannya. Kalau anda terlambat membayar, anda bisa dikenakan penalty yang tinggi oleh pihak bank dan jumlah pinjaman pokok anda bertambah, dari yang semula Rp 200,000,000.00 menjadi Rp 250,000,000.00. Walaupun BLR turun kembali, tidak banyak  manfaat kepada anda lagi, karena pinjaman pokok sudah naik.
Untuk lebih jelas, anda bisa melihat tabel di bawah ini. Kalau kadar cicilan Bank Islam di tahun pertama dan kedua saja sudah diketahui. Malah untuk tahun ketiga sampai tahun ketigapuluh, kadar cicilannya adalah tetap. Sebaliknya untuk Bank Konvensional kadar cicilan tidak diketahui karena tergantung dengan BLR.
Pembiayaan Rumah (Bank Islam) Pinjaman Rumah (Bank Konvensional)
Tahun Pertama: 2% Tahun Pertama : BLR – 2.00% per tahun
Tahun Kedua : 4% Tahun Kedua : BLR – 2.00% per tahun
Tahun Ketiga sampai Ke-30: 7% Tahun Ketiga : BLR – 2.00% per tahun

Tahun Seterusnya : BLR – 1.60% per tahun
Mungkin ada yang memberikan hujah, bahwa Bank-Bank konvensional menawarkan kadar cicilan yang tetap, seperti yang tertera di bawah ini:
3 years Fixed Rate
1st – 3rd year : 5.25%
Thereafter : BLR – 1.50%

5 years Fixed Rate
1st – 5th year : 5.50%
Thereafter : BLR – 1.50%

Kalau anda teliti, maka anda akan mendapatkan bahwa hanya beberapa tahun pertama saja kadar cicilannya tetap. Setelah itu tergantung nilai BLR kembali. Kalau anda tidak berhati-hati membacanya, maka anda bakalan terperangkap dengan janji-janji seperti itu.

contoh kasus konsep dasar ekonomi moneter

KOMPAS.com - Meski hiruk pikuk kasus Bank Century mulai mereda di media massa, proses pemeriksaan kasus ini masih terus berlangsung. Upaya hukum diarahkan untuk membongkar dan mencari siapa yang bersalah, khususnya di balik aksi penyelamatan Bank Century. Mencari siapa yang bersalah, tentu tidak terlepas dari asumsi adanya kerugian negara yang diakibatkan dari kebijakan tersebut. Namun, masalah tidak berhenti di sana, karena seiring dengan itu, beredar isu tentang teori konspirasi yang mengaitkan dana bail out Bank Century dengan upaya menggalang dana pemilu oleh salah satu partai politik, suap terhadap petinggi Polri, hingga melebar ke isu cicak vs buaya. Isu ekonomi pun bergeser menjadi isu politik.
Dalam film Conspiracy Theory, tokoh Jerry Fletcher yang diperankan oleh Mel Gibson, mengatakan bahwa konspirasi yang baik adalah konspirasi yang tak akan pernah bisa dibuktikan. Pembunuhan JFK atau kasus Watergate, adalah contoh-contoh konspirasi yang sulit dibuktikan. Sampai dengan hari ini, yang muncul adalah berbagai teori maupun spekulasi tentang kejadian itu. Berpuluh buku diterbitkan untuk menganalisis sejarah dan peristiwa kontroversial . Tapi apa yang sebenarnya terjadi, kita tak pernah tahu. Apakah benar ada konspirasi? Kita juga tak pernah tahu.
Di bidang ekonomi politik, kisah-kisah seputar spekulasi konspirasi juga kerap muncul. Ambruknya Lehman Brothers, terungkapnya kasus Madoff, menyisakan berbagai misteri tentang kisah polarisasi ekonomi Yahudi. Di dalam negeri, kasus Bank Bali hingga kasus Bank Century misalnya, adalah berbagai contoh yang mengaitkan bagaimana politik, kekuasaan, dan uang, adalah saudara seiman.
Saudara se-iman lainnya yang kerap ikut dalam kelindan itu adalah “kejahatan”. Mario Puzzo dalam novel Godfather menulis, “Behind every great fortune, there is a crime”. Dengan kata lain, Puzzo ingin mengatakan, “Di balik uang bertriliun Rupiah, ada kejahatan”.
Dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun Rupiah, kekuatan partai dan individu yang mencapai miliaran rupiah, dan mengalirnya dana yang sangat besar, tentu menjadi isu “sexy” yang mengundang tanya. Dari mana dan ke mana dana itu mengalir? Dan apakah dana itu terkait dengan konspirasi?
Pertanyaan itu tentu tak mudah dicari jawabnya. Kitapun kemudian kerap tergiring untuk mendaku fakta spekulatif dalam melakukan tafsir gejala. Akhirnya, tak jarang dari kita yang terjebak ke dalam kusut masai masalah dan keterjebakan epistemik. Sebuah permainan logika yang artinya, kita mengandaikan sesuatu sebagai hal yang nyata. Padahal itu hanyalah asumsi kita akan kenyataan itu. Kita menganggap suatu hal itu terjadi, padahal itu hanya pengandaian kita akan sebuah kejadian.
Isu mengenai konspirasi di balik penyelamatan Bank Century, kalaupun ada, tentu menarik untuk diungkap. Namun dengan berbagai keterbatasan analisis dan data empiris, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dicatat sebelum sampai pada pertanyaan itu.
Pertama, pandangan para pakar dan pengamat dalam menyikapi kasus Bank Century yang kerap tidak memadai. Sering kita lihat bahwa sebagian besar masalah aktual, baik politik dan ekonomi, dicoba dipecahkan berdasarkan common sense dan logika, tapi lemah dasarnya secara empiris. Apa yang kita ketahui sampai sekarang dari kasus Bank Century lebih banyak berupa hasil learning by hearsay, atau omongan a la warung kopi di berbagai arasnya: ada yang mengatakan bocoran informasi tingkat tinggi, gossip pinggir jalan, atau analisis yang lebih spekulatif sifatnya daripada empiris. Kalau kita lihat tanggapan-tanggapan di blog ataupun media lainnya, hal itu semakin nyata. Menanggapi kasus ini, setiap orang mengemukakan analisisnya sendiri-sendiri, yang terlihat canggih, namun tentu saja spekulatif karena dukungan data empiris yang tidak memadai.
Kedua, dalam keterbatasan data empiris, satu fakta yang dapat kita lihat sebenarnya adalah kondisi makroekonomi saat Bank Century diselamatkan. Saat itu, pilihan kebijakan memang sulit. Menutup bank ataupun menyelamatkan, memiliki risiko sendiri-sendiri. Kebijakan yang dipilih otoritas saat itu adalah menyelamatkan Bank Century. Dan itu adalah kebijakan publik yang dilakukan dengan perhitungan untuk menyelamatkan sistem keuangan secara lebih luas.
Pihak otoritas kerap mengatakan bahwa kebijakan penyelamatan dilakukan dengan sebuah good faith atau itikad baik demi kepentingan luas makroekonomi. Tanpa berpikir penyelamatan itu untuk menyelamatkan satu pihak, apalagi menolong pemilik. Kita melihat bahwa pemilik bank Century sendiri justru ditangkap. Namun kita juga paham, niat baik tak cukup. Niat baik hanya tersimpan di dalam hati, sulit untuk dibuktikan. Yang terlihat adalah dampak dari kebijakan tersebut. Dampak kebijakan itu bagi kebanyakan masyarakat lebih penting untuk dilihat.
Kita melihat kondisi sistem keuangan saat ini relatif stabil dan menguat. Kepercayaan yang terjaga mampu menghindari pelelehan lebih dalam dari sistem keuangan kita, dan mampu menghindarkan kita dari krisis lebih lanjut. Kondisi makroekonomi Indonesia satu tahun setelah kebijakan itu diputuskan juga jauh lebih solid dan lebih baik. Sementara itu, kekhawatiran dana yang hilang juga bisa diminimalisir karena Bank Century masih beroperasi, dengan nama baru yaitu Bank Mutiara. Artinya, kemungkinan dana talangan untuk kembali juga ada. Bila operasi Bank Mutiara membaik, maka pendapatannya akan dapat dipakai untuk mengganti dana talangan.
Lantas bagaimana dengan konspirasi? Ke mana dana mengalir? Dan Siapa yang harus dipersalahkan dalam kasus ini? Analisis ini hanya bisa berhenti di tepian saat kebijakan penyelamatan Bank Century dilakukan.
Namun di seberang tepian itu, apakah kemudian ada konspirasi di balik penyelamatan dana talangan, atau apakah ada kepentingan politik dari penggunaan dana talangan, sepenuhnya berada dalam misteri kegelapan yang jauh dari jangkauan empiris saya. Itu menjadi teka teki di balik langit malam yang gelap (riddle of a dark night sky).
Harapan saya adalah mudah-mudahan kasus ini dapat dituntaskan dengan baik dan tidak hanya mengorbankan pihak tertentu yang lemah secara politis, demi sekedar memenuhi kepuasan penonton “opera sabun”, sebagaimana kerap terjadi pada setiap kasus. (Junanto Herdiawan)
www.yahoo.comwww.google.comwww.studentsite.gunadarma.ac.id

Minggu, 17 April 2011

contoh kasus uang dan standar moneter

Emas tidak lagi dicetak sebagai uang, tetapi emas hanyalah back-up atas uang kertas yang diedarkan. Dengan rasio cetak uang tertentu, suatu perekonomian bisa mencetak uang kertas, tergantung berapa banyak cadangan emas yang dimilikinya. Katakan di Indonesia, rasio cetak uang (RCU) ditetapkan setiap 10,000 rupiah yang diedarkan diback-up dengan 1 gr emas, dan di Amerika setiap 1 dollar yang beredar di back-up dengan 1 gr emas. Jika pemerintah Indonesia mempunyai 10 kg emas, maka uang beredar di Indonesia adalah 10.000 (Rp/gr) x 10.000 (gr)= 100.000.000 (Rp). Sementara misalnya Amerika mempunyai 20.000 kg emas, maka jumlah uang beredar di Amerika adalah 1 ($/gr) x 20.000.000 (gr) = 20.000.000 ($). Perbedaan mata uang antar negara tidak menjadi persoalan, karena emas menjembataninya. Kurs antar mata uang, dinilai dengan kandungan emas relatif antar dua mata uang. Dalam contoh hipotetik di atas, 1 dollar sama dengan Rp 10.000. Sampai di sini, meskipun emas masih menjadi menjadi standar pembayaran, kadar keterlibatan emas sebagai alat pembayaran mulai berkurang, karena uang sudah sudah berbentuk kertas dan logam lain. Emas hanyalah back-up atas uang kertas dan logam yang beredar. Perang dunia I, tercatat sebagai episode penting sejarah evolusi uang. Semua negara yang terlibat perang, menaikan alokasi anggaran untuk angkatan bersenjata dengan mencetak uang baru. Dalam standar emas, mencetak uang baru harus di back-up dengan cadangan emas yang dimiliki. Sementara cadangan emas relatif tetap. Oleh karena yang dilakukan adalah dengan menurunkan rasio cetak uang. Pada RCU 1 gr = Rp.10.000, dengan emas 10 kg, uang yang bisa dicetak sama dengan Rp. 100.000.000. Jika RCU diturunkan menjadi 10.000 sama dengan 0,5 gr, maka dengan emas yang tetap (10 kg) uang yang bisa dicetak naik menjadi Rp. 200.000.000, meskipun cadangan emas tidak berubah. Dalam hal ini, jika RCU Amerika tetap, maka nilai tukar Rupiah terhadap Dollar turun separohnya (kurs Dollar naik dua kali lipat), menjadi Rp. 20,000/$. Dengan kata lain menurunkan RCU (menaikkan jumlah uang beredar) berimplikasi pada devaluasi mata uang domestik. Dalam situasi perang, semua negara saling men-devaluasi mata uangnya untuk mencetak uang baru

Pengelolaan Dana pada Asuransi Syariah

Di dalam operasional asuransi syariah yang sebenarnya terjadi adalah saling bertanggung jawab, bantu-membantu dan melindungi di antara para peserta sendiri. Perusahaan asuransi diberi kepercayaan (amanah) oleh para peserta untuk mengelola premi, mengembangkan dengan jalan yang halal, memberikan santunan kepada yang mengalami musibah sesuai isi akta perjanjian tersebut.
Keuntungan perusahaan asuransi syariah diperoleh dari bagian keuntungan dana dari para peserta, yang dikembangkan dengan prinsip mudharabah (sistem bagi hasil). Para peserta asuransi syariah berkedudukan sebagai pemilik modal dan perusahaan asuransi syariah berfungsi sebagai yang menjalankan modal. Keuntungan yang diperoleh dari pengembangan dana itu dibagi antara para peserta dan perusahaan sesuai ketentuan yang telah disepakati.
Mekanisme pengelolaan dana peserta (premi) terbagi dua sistem yaitu:
  1. Sistem yang mengandung unsur tabungan
  2. Sistem yang tidak mengandung unsur tabungan
1. Sistem yang mengandung unsur tabungan
Setiap peserta wajib membayar sejumlah uang secara teratur kepada perusahaan. Besar premi yang akan dibayarkan tergantung kepada kemampuan peserta. Akan tetapi perusahaan menetapkan jumlah minimum premi yang dapat dibayarkan. Setiap peserta dapat membayar premi tersebut, melalui rekening koran, giro atau membayar langsung. Peserta dapat memilih cara pembayaran, baik tiap bulan, kuartal, semester maupun tahunan.
Setiap premi yang dibayar oleh peserta akan dipisah oleh perusahaan asuransi dalam dua rekening yang berbeda, yaitu:
a. Rekening Tabungan, yaitu kumpulan dana yang merupakan milik peserta, yang dibayarkan bila:
b. Rekening Tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling membantu, yang dibayarkan bila:
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah Islam. Tiap keuntungan dari hasil investasi, setelah dikurangi denagn beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi menurut prinsip Al-Mudharabah. Prosentase pembagian mudharabah (bagi hasil) dibuat dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan peserta.

2. Sistem yang tidak mengandung unsur tabungan
Setiap premi yang dibayar oleh peserta, akan dimasukkan dalam Rekening Tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling membantu, dan dibayarkan bila:
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah Islam. Keuntungan dari hasil investasi setelah dikurangi dengan beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi antara peserta dan perusahaan menurut prinsip Al-Mudharabah dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan peserta.

Tantangan Pengelolaan Dana Perbankan Syariah

Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.
Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.
Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.
Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global. [sunting] Penghimpunan dana
Selain investor asing, penghimpunan dana perbankan syariah dari dalam negeri akan didongkrak penerapan office-channeling yang didasari Peraturan BI Nomor 8/3/PBI/2006. Aturan ini memungkinkan cabang bank umum yang mempunyai unit usaha syariah melayani produk dan layanan syariah, khususnya pembukaan rekening, setor, dan tarik tunai.
Sampai saat ini, office channeling baru digunakan BNI Syariah dan Permata Bank Syariah. Sejumlah 212 kantor cabang Bank Permata di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya sudah dapat melayani produk dan layanan syariah sejak awal Maret lalu. Sementara tahap awal office channeling BNI Syariah dimulai 21 April 2006 pada 29 kantor cabang utama BNI di wilayah Jabotabek. Ditargetkan 151 kantor cabang utama BNI di seluruh Indonesia akan menyusul.
General Manager BNI Syariah Suhardi beberapa pekan lalu menjelaskan, untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan syariah, diluncurkan pula BNI Syariah Card. Kartu ini memungkinkan nasabah syariah menggunakan seluruh delivery channel yang dipunyai BNI, seluruh ATM BNI, ATM Link, ATM Bersama, dan jaringan ATM Cirrus International di seluruh dunia.
Hasil penelitian dan permodelan potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah yang dilakukan BI tahun lalu menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang coba diatasi dengan office channeling.
Dana terhimpun juga akan meningkat terkait rencana pemerintah menyimpan biaya ibadah haji pada perbankan syariah. Dengan kuota 200.000 calon jemaah haji, jika masing-masing calon jemaah haji menyimpan Rp 20 juta, akan terhimpun dana Rp 4 triliun yang hanya dititipkan ke bank syariah selama sekitar empat bulan. Dana haji yang terhimpun dalam jumlah besar dalam waktu relatif pendek akan mendorong munculnya instrumen investasi syariah. Dana terhimpun itu bahkan cukup menarik bagi pebisnis keuangan global untuk meluncurkan produk investasi syariah.
Di sisi lain, suku bunga perbankan konvensional diperkirakan akan turun. Menurut Adiwarman, bagi hasil perbankan syariah yang saat ini berkisar 8-10 persen, membuat perbankan syariah cukup kompetitif terhadap bank konvensional. “Dengan selisih sekitar dua persen (dari tingkat bunga bank konvensional), orang masih tahan di bank syariah, tetapi lebih dari itu, iman bisa juga tergoda untuk pindah ke bank konvensional,” kata Adiwarman menjelaskan pola perilaku nasabah yang tidak terlalu loyal syariah.
Berdasarkan analisis BI, tren meningkatnya suku bunga pada triwulan ketiga tahun 2005 juga sempat membuat perbankan syariah menghadapi risiko pengalihan dana (dari bank syariah ke bank konvensional). Diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun dana nasabah dialihkan pada triwulan ketiga tahun lalu. Namun, kepercayaan deposan pada perbankan syariah terbukti dapat dipulihkan dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai Rp 2,2 triliun pada akhir tahun. Kenaikan akumulasi dana pihak ketiga perbankan syariah merupakan peluang, sekaligus tantangan, karena tanpa pengelolaan yang tepat justru masalah akan datang.
Perbankan syariah sempat dituding “kurang gaul” dalam lingkungan pembiayaan karena sejumlah nasabah yang dianggap bermasalah pada bank konvensional justru memperoleh pembiayaan dari bank syariah. Akan tetapi, Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia Wahyu Dwi Agung meyakini, dengan sistem informasi biro kredit BI yang memuat data seluruh debitor, tudingan seperti itu tidak akan terjadi lagi.
Posisi rasio pembiayaan yang bermasalah (non-performing financings) pada perbankan syariah tercatat naik dari 2,82 persen pada Desember 2005 menjadi 4,27 persen Maret lalu. Rasio ini dinilai masih terkendali.
Kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan perbankan syariah dan ketersediaan produk investasi syariah tidak akan optimal tanpa promosi dan edukasi yang memadai tentang lembaga keuangan syariah. Amat dibutuhkan pula jaminan produk yang ditawarkan patuh terhadap prinsip syariah.
Peluang dan potensi perbankan syariah yang besar memang menuntut kerja keras untuk kemaslahatan.

Perbankan syariah


Sejarah

Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain [2]:

Produk perbankan syariah

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:

Jasa untuk peminjam dana

Jasa untuk penyimpan dana

Prinsip perbankan syariah

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain
Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya[1].
Komentar: Hal ini sangat disayangkan karena kurangnya pengetahuan tentang prinsip tersebut sehingga masih banyak masyarakat yang kurang percaya dan kurang merasa mudah menggunakan fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam prinsip-prinsip Bank Syari'ah. Didalam perbankaqn syari'ah telah diatur berbagai macam transaksi yang tidak merugikan bagi kedua pihak. Karena jika sampai ada yang dirugikan dan dirugikan maka sudah melanggar ajaran Islam itu sendiri. Prinsip perbankan syari'ah itu sendiri bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits.

Produk perbankan syariah

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:

Jasa untuk peminjam dana

Jasa untuk penyimpan dana

Tantangan Pengelolaan Dana

Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.
Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.
Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.
Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global.
Adanya perbankan syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)dengan tujuan mengakomodir berbagai aspirasi dan pendapat di masyarakat terutama masyarakat Islam yang banyak berpendapat bahwa bunga bank itu haram karena termasuk riba dan juga untuk mengambil prinsip kehati-hatian. Apabila dilihat dari segi ekonomi dan nilai bisnis, ini merupakan terobosan besar karena penduduk Indonesia 80% beragama islam, tentunya ini bisnis yang sangat potensial. Meskipun sebagian orang islam berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba tetapi faedah, karena bunga yang diberikan atau diambil oleh bank berjumlah kecil jadi tidak akan saling dirugikan atau didzolimi, tetapi tetap saja bagi umat islam berdirinya bank-bank syariah adalah sebuah kemajuan besar.
Tetapi sistem perbankan syariah di Indonesia masih belum sempurna atau masih ada kekurangannya yaitu masih berinduk pada Bank Indonesia, idealnya pemerintah Indonesia mendirikan lembaga keuangan khusus syariah yang setingkat Bank Indonesia yaitu Bank Indonesia Syariah.